2/26/07

Dari Esa Menjadi Trinitas

DARI ESA MENJADI TRINITAS
Sebuah Tinjauan Sejarah Asal Muasal Doktrin Trinitas



Pada dasarnya Kekristenan tidak dapat dipisahkan dalam sejarah dengan perjalanan bangsa Israel (Yahudi). Yesus Kristus sendiri menyatakan :

Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi (Yohanes 4:22)

Maka ketika menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat, Yesus Kristus menyatakan konsep keimanan yang sangat monoteis :

Jawab Yesus : “Hukum yang terutama ialah : dengarlah hai orang Israel, Tuhan (TUHAN, YHWH) Allah kita, Tuhan (TUHAN, YHWH) itu esa” (Markus 12:29)

Inilah konsep keimanan yang diajarkan kepada orang Israel sejak semula dan dituliskan oleh Musa sebagai hukum yang utama : “Shema” (Dengarlah). “Dengarlah hai orang Israel : YHWH itu Allah kita, YHWH itu esa” (Ulangan 6:4).

Dalam upaya untuk melindungi konsep Allah yang satu dari segala jenis penggandaan (multiplication), penurunan nilai (watering down), atau pencampuran adukan (amalgamation) dengan ibadah-ibadah lain diseluruh dunia, orang Israel memilih bagi dirinya sendiri ayat Kitab Suci (Ulangan 6:4) untuk menjadi pernyataan iman (credo) yang sampai hari ini menjadi bagian liturgi harian di sinagog-sinagog yang juga ditanamkan sebagai kalimat pertama yang harus dihafal oleh anak sekolah berusia lima tahun. Inilah pengakuan yang oleh Yesus dianggap sebagai “yang paling utama dari semua perintah” (Pinchas Lapide, Jewish Monotheism and Christian Trinitarian Doctrine, 1981:27)

Konsep keimanan ini pulalah yang dipahami oleh para rasul, murid-murid Yesus :

Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa … dan satu tu(h)an saja yaitu Yesus Kristus …. (1Korintus 8:6)

Oleh sebab itu pada dasarnya Kekristenan adalah agama monoteis yang sama seperti agama Yahudi, sebab Kekristenan mengakui Bapa, yaitu yang disebut Allah oleh orang Yahudi (Yohanes 8:54).

Yudaisme, lingkungan di dalam mana orang-orang Kristen purba hidup dan berasal, senantiasa merupakan agama monoteisme yang kuat. Dari Yudaisme inilah Kekristenan mewarisi monoteisme (Lohse, 1994:47)

Apa yang disebut sebagai doktrin Trinitas hingga hari ini, merupakan satu doktrin yang peristilahannya tidak dapat ditemukan di dalam Alkitab. Bahkan perdebatan awal yang sangat panas antara kaum Athanasius dan Arius (Konsili Nicea, 325) tidaklah menyinggung mengenai ketritunggalan melainkan hanya mendebatkan tentang posisi Yesus terhadap Bapa. Doktrin Trinitas sendiri belum menemukan bentuknya yang utuh hingga abad ke-5 setelah disusunnya Kredo Athanasius di Perancis Selatan (bukan disusun oleh Athanasius dari Alexandria, hanya diambil dari nama yang sama).

Tidak ada indikasi dalam Perjanjian Lama tentang pemisahan keAllahan. Ini merupakan salah tempat untuk menemukan doktrin Inkarnasi Allah atau tentang hal-hal Trinitas dalam halaman-halamannya (Encyclopedia of Religion and Ethics, Clark, 1913, jilid 6:254).

Kaum teolog hari ini telah setuju bahwa Kitab-kitab orang Ibrani tidak berisikan doktrin Trinitas (The Encyclopedia of Religion, Eliade, 1987, 15:54).

Doktrin trinitas tidak diajarkan dalam Perjanjian Lama (New Catholic Encyclopedia, Pub. Guild, 1967:306)

Sejarah teologi dan dogma Kristen mengajar kita untuk menghargai Trinitas sebagai elemen khas dari ide Kekristenan tentang Allah. Tapi di sisi lain, kita harus jujur mengakui bahwa doktrin Trinitas tidak terbentuk sebagai bagian dari orang-orang Kristen mula-mula yang menuliskan Perjanjian Baru. Tidak ada jejak dari ide seperti ini dalam Perjanjian Baru. “Mysterium logicum” (pemikiran yang misterius) ini, bahwa Allah itu tiga tetapi satu, berada sepenuhnya diluar pesan dari Alkitab. Ini adalah misteri yang Gereja letakkan dalam keimanan, tetapi tidak ada hubungan dengan ajaran Yesus dan para Rasul. Tidak ada satupun Rasul yang pernah bermimpi memikirkan bahwa ada tiga pribadi ilahi yang hubungan mutualnya dan kesatuannya menciptakan paradoks (pertentangan) yang di luar pengertian kita (Emil Brunner, Christian Doctrine of God, Dogmatics, 1950:205,226,238)

Menuju ke Doktrin Trinitas
Kekristenan mengalami aniaya yang hebat oleh para penguasa Romawi. Penganiayaan hebat terjadi pada jaman Kaisar Nero sampai Kaisar Diocletian. Tetapi setelah Kaisar Diocletian muncul seorang Kaisar baru yaitu Kaisar Konstantin Agung yang menyadari bahwa Kekristenan telah merasuk masuk ke dalam kerajaannya dan akan sangat berbahaya untuk bermusuhan dengan Kekristenan. Maka pada tahun 314, Kaisar mengeluarkan Dekrit Toleransi Milan yang mengatur tentang agama Kristen sebagai agama resmi negara. Konstantin ingin menggunakan kekuatan agama Kristen untuk secara politis menyatukan Romawi. Pengaruh budaya Yunani (Helenisme) sangat kuat masuk ke dalam dunia Kekristenan.

Maka refleksi dua tiga generasi Kristen pertama atas “fenomena” Yesus dan pengalaman umat sendiri terjadi dalam rangka alam pikir dan tradisi religius Yahudi, yang hanya sedikit terpengaruh oleh alam pikiran Yunani. Tetapi lama-kelamaan pengaruh alam pikiran Yunani bertambah besar. Sarana pemikiran yang mula-mula Yahudi semakin menjadi Yunani. Maka iman kepercayaan Kristen yang mula-mula ditampung dalam gagasan dan istilah Yahudi lama-kelamaan dipindahkan kepada gagasan Yunani. Ada bentrokan antara alam pikiran Yahudi Kristen semula dengan alam pikiran Yunani Kristen kemudian, dan antara iman kepercayaan Kristen dan alam pikiran Yahudi dan Yunani (Groenen, 1987:36-37)

Meski demikian, Kekristenan saat itu masih sangat didominasi oleh kaum Kristen unitarian yang “sampai awal abad ketiga masih merupakan mayoritas yang besar” (Encylopedia Britannica, Edisi 11, Vol 23, Hal 963).
Kaisar Konstantin yang ingin menggunakan Kekristenan sebagai pemersatu politis Romawi merasa resah melihat perdebatan teologis yang telah mencapai rakyat jelata. Perdebatan besar terutama terjadi di gereja-gereja Mesir yang berpusat di kota Alexandria yaitu antara Uskup Agung Alexander dari Alexandria dan penerusnya Uskup Athanasius melawan Uskup Arius dari Alexandria yang didukung oleh Uskup Agung Eusebius dari Nicomedia. Maka Kaisar memutuskan diadakannya satu Konsili besar untuk memutuskan masalah-masalah teologis ini.
Pada saat itu terdapat setidaknya 1800 orang Uskup Kristen, 1000 orang di wilayah Romawi Timur dan 800 orang di wilayah Romawi Barat. Tetapi apa yang dikatakan sebagai Konsili Ekumene Pertama di Nicea tahun 325 itu hanya dihadiri oleh 250 – 318 orang Uskup saja. Eusebius mencatat 250 Uskup, Athanasius mencatat 318 Uskup, dan Eusthatius dari Antiokia mencatat kehadiran 270 Uskup. Artinya jumlah yang sama sekali jauh dari jumlah keseluruhan Uskup yang ada.
Uskup-uskup yang hadir terpecah dalam tiga golongan pemikiran yaitu kelompok homoousian yang menyatakan bahwa Yesus memiliki substansi yang sama (the same substance) dengan Bapa yang dipimpin oleh Uskup Alexander dari Alexandria, kelompok Arian yang menyatakan bahwa Yesus tidak mungkin sama substansinya, sekalipun sangat mulia, tetapi tetap adalah ciptaan Bapa dipimpin oleh Arius, dan kelompok yang ingin mencapai kompromi dengan menyatakan bahwa Yesus dan Bapa adalah berbeda tetapi mirip (similar) disebut kelompok homoiousians.
Pertemuan yang berlangsung sejak 20 Mei 325 itu baru dapat menghasilkan kesimpulan pada tanggal 19 Juni 325 setelah Kaisar Konstantin sendiri datang pada tanggal 14 Juni 325. Kaisar datang dengan membawa satu cohort (setara brigade) tentara Romawi. Konstantin kemudian menangkap Arius, dan kedua sahabatnya Theonas dan Secundus, para Uskup dari Libya dan mengasingkan mereka. Semua tulisan Arius dikabarkan dibakar, sekalipun tidak ada catatan resmi tentang pembakaran ini. Kesimpulan yang diambil pada tanggal 19 Juni 325 diikuti dengan kutukan (anatema) terhadap Arius dan para pendukungnya.

Kaisar nekad. Rapat itu mesti meredakan ketegangan dan menghentikan pertikaian serta menghasilkan semacam asas tunggal yang harus diterima semua pihak berselisih …. Keputusan Konsili menjadi hukum negara. Arius dan uskup-uskup pembangkang dipecat dan dibuang ke pedalaman. Tulisan-tulisan Arius dibakar dan siapa yang mempunyai tetapi tidak menyerahkan terancam hukuman mati (Groenen, 1992:131)

Kesimpulan konsili dibacakan oleh Hosius dari Cordoba yang menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah “Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah sebenarnya dari yang sebenarnya”. Bahwa Yesus Kristus bukan diciptakan tetapi sama kekalnya dengan bapa (co-substantial) dan berasal dari substansi yang sama (homoousius). Konsili juga memutuskan untuk mengganti perayaan Paskah dari Passover Yahudi kepada Easter. Motivasinya menurut catatan Theodoret adalah pendapat Kaisar untuk menjauhkan perayaan dari tradisi Paskah Yahudi yang telah menyalibkan Yesus Kristus pada hari raya mereka itu. Hal tentang Roh Kudus sama sekali tidak dibicarakan oleh Konsili.

Konsili diakhiri dengan “pesta” bersama Kaisar Konstantin pada tanggal 25 Agustus 325. Tiga bulan kemudian dua uskup yang menyampaikan ide kompromi dan tidak sepenuh hati mendukung kredo Nicea yaitu Eusebius dari Nicomedia dan Theognius dari Nicea diasingkan juga.
Tetapi Kaisar rupanya menyadari bahwa kaum Athanasian tidak mendapat simpatik penuh. Maka pada tahun 328, Kaisar mengijinkan pulang para uskup Unitarian (Arian dan Eusebian) yang diasingkan. Tahun 336 di kota Konstantinopel diadakan pertemuan Uskup se Romawi Timur yang memutuskan bahwa ajaran Arius benar dan ortodoks. Tahun 337, Kaisar Konstantin yang banyak bermain dalam penentuan keputusan di Konsili Nicea baru dibaptis menjelang ajalnya, bahkan Kaisar dibaptis oleh seorang uskup Unitarian yaitu Eusebius dari Nicomedia. Sungguh ironi.
Athanasius yang menyadari bahwa sekarang dirinya berposisi kalah, melarikan diri dari Alexandria, Mesir ke Roma di kawasan Barat yang cenderung lebih mendukung konsep homoousius pada tahun 339. Tahun 341 di Antiokia disusunlah dokumen kredo Arian untuk menangkal kredo Nicea. Pada pertemuan tahun 343 di Sardica, uskup-uskup gereja di Romawi Timur menghendaki penyingkiran selamanya Athanasius dari kedudukan Uskup Alexandria. Tetapi Athanasius justru berhasil memainkan peran politisnya dan kembali menguasai Keuskupan Alexandria tahun 346. Keadaan belumlah tenang bagi kaum Athanasian ketika dalam pertemuan di Sirmium (357) dihasilkan kesimpulan bahwa Bapa lebih besar daripada Anak, dan dalam pertemuan di Antiokia (361) kesimpulan Arian dianggap benar.
Keadaan baru benar-benar mantap bagi kaum pendukung ide homoousius ketika Kaisar Theodius I naik tahta dan mengadakan Konsili Konstantinopel tahun 381. Di bawah pengaruh Basil dari Kapadokia, Gregory dari Nissa, dan Gregory dari Naziansus maka Konsili memutuskan untuk merevisi kredo Nicea. Mereka memasukkan Roh Kudus sebagai “sang Tuhan, Pemberi Hidup, Yang ada dari Bapa, dan bersama dengan Bapa dan Anak, Dia harus disembah dan dimuliakan”. Kaisar kemudian mengeluarkan dekrit bahwa doktrin Trinitas ini adalah doktrin sah dari agama resmi Kekaisaran dan semua penjelasan harus mengacu daripadanya. Dekrit ini diikuti dengan kutukan terhadap semua penganut Arian dan penentang kepribadian Roh Kudus.
Kenyataannya suku-suku di perbatasan wilayah Romawi masih menganut paham Unitarian. Orang-orang Gothic yang telah mencetak Alkitab mereka tahun 351, bersama dengan suku Heruli, Vandal, Suevi (Swiss) demikian juga dengan suku-suku Teutonic dan Jerman. Inilah yang akan memicu perang penyerbuan suku-suku “barbar” ke wilayah-wilayah Romawi.
Doktrin trinitas belum benar-benar diterima secara luas, hingga akhirnya diadakan Konsili Kalkedon (451) untuk menekankan kembali keimanan kepada Trinitas dan dalam Konsili inilah ditetapkan bahwa Yesus adalah “impersonal human nature”. Yesus adalah Allah yang tinggal dalam tubuh manusia. Maka Trinitas menjadi iman sah agama negara Romawi, yaitu Kekristenan.

Mencari Kembali Akar Iman Kita
Dengan melihat bahwa untuk menjadikan Yesus, Allah yang setara dengan Bapa dibutuhkan waktu hingga tahun 325 di bawah kekuatan cohort Romawi yang dipimpin Kaisar Konstantin; dan bahwa untuk menjadikan Roh Kudus, Allah ketiga yang setara dengan Bapa dan Anak dibutuhkan waktu hingga tahun 381 di bawah ancaman Dekrit Kaisar Theodius I; dan bahkan untuk memantapkan Trinitas diperlukan waktu hingga tahun 451, yang itupun masih disertai dengan gempuran suku-suku barbar Unitarian yang memberontak terhadap Romawi; Maka kita perlu sungguh melacak akar iman Kekristenan kita yang sesungguhnya.

Ketika pikiran Yunani dan Romawi, bukannya alam pikir Yahudi, yang mendominasi Gereja, maka terjadilah bencana yang oleh karenanya Gereja tidak pernah pulih baik dalam pengajaran maupun praktek-prakteknya (H.L. Goudge, Judaism and Christianity)

Seorang penulis yang lain Macculay menyatakan : “Di abad kelima masehi, Kekristenan telah menaklukkan kekafiran, dan kekafiran meracuni (menginfeksi) Kekristenan”.

Sungguh merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi kita untuk menemukan kembali apa yang Yesus maksudkan dengan menyatakan : “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yohanes 17:3). Ini adalah pernyataan iman yang murni dari Sang Mesias, dan bukan pernyataan iman yang dituliskan oleh para Teolog ratusan tahun setelah Yesus, yang sebenarnya mereka tidak pernah melihat Allah (Yohanes 1:18).

Satu hal yang harus kita pahami adalah bahwa tidak ada sumber lain yang dapat membantu kita untuk memahami pemahaman yang benar akan Allah dan akan Yesus Kristus selain daripada Alkitab sendiri. “… FirmanMu adalah kebenaran” (Yohanes 17:17) adalah ajaran yang datang dari Sang Guru Agung, Yesus Kristus. Alkitab ini bukanlah buku misterius yang hanya dapat dipahami oleh para Teolog, tetapi merupakan kebenaran sederhana yang Yesus Kristus sendiri katakan : “Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil” (Matius 11:25).
Selamat mencari akar iman kita yang sebenarnya.

2/19/07

Mencapai Pengenalan Yang Benar akan Anak Allah

Inilah hidup yang kekal itu yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus (Yohanes 17:3)

Ayat di atas adalah bagian dari doa Yesus untuk murid-muridnya menjelang penyalibannya di Golgota. Dalam doa terakhir itu, Yesus hendak menyimpulkan semua pengajarannya yang telah diberikan kepada para murid selama misinya di dunia. Salah satunya tentang dasar iman keKristenan “Engkau, satu-satunya (the only) Allah” dan “Yesus Kristus yang telah Engkau utus”. Hal ini pula yang diakui oleh Rasul Paulus :

Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari padaNya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup. Dan satu Tu(h)an saja yaitu Yesus Kristus yang olehnya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup (1Korintus 8:6)

Kerancuan Istilah
Sayangnya pemahaman kita akan ayat-ayat tersebut seringkali dibingungkan oleh tidak jelasnya arti dari kata-kata penting ayat-ayat tersebut. Ketidakjelasan itu adalah kerancuan dalam istilah Allah, Tuhan, Tuan, TUHAN. Jika semua istilah itu tumpang tindih maka akan terjadi kekacauan pengertian yang hebat.

Allah, adalah serapan bahasa Arab. Berasal dari kata Al dan Illah yang artinya Sang Illah. Sementara jika mengacu pada serapan bahasa sansekertanya akan digunakan kata Dewa dari kata Dev (contoh 1 Raja 11:33). Kata Yunani yang digunakan untuk kata ini adalah Theos, sedangkan kata Ibraninya adalah Elohim. Ini adalah padanan secara ringkas. Semua mengandung arti “yang memiliki kekuatan supranatural, yang disembah, yang ilahi” tetapi juga khusus kepada Allahnya orang Israel digunakan makna “Sang Mahatinggi”.
Tuan, mengandung arti penguasa, pemilik, pengatur. Dengan kata Yunani, kurios dan kata dasar Ibraninya adon, yang dapat menjadi adoni atau adonai. Tuan dikenakan kepada setiap penguasa baik penguasa dalam rumah (kepala rumah tangga) – seperti Sarah memanggil Abraham (1Petrus 3:6), raja, pemimpin. Allah pastilah Tuan tetapi tuan bukan selalu berarti Allah.

Tuhan merupakan kata yang paling rancu dalam bahasa Indonesia. Jika mengacu pada akar katanya sebenarnya Tuhan berasal dari kata Tuan. Sampai terjemahan tahun 1668, Alkitab terjemahan Brouwerius masih menggunakan kata Tuan untuk menerjemahkan kurios bagi Yesus. Lalu oleh karena ada perubahan penerjemahan Alkitab oleh Leijdecker digunakanlah istilah Tuhan. Ini dituliskan oleh Remy Silado (Bapa jadi Bapak, Tuan jadi Tuhan, Bangsa jadi Bangsat, Kompas 11 September 2002) : “Jelas yang tadinya oleh Brouwerius diterjemahkan Tuan – sama dengan bahasa Portugis Senhor, Perancis Seigneur, Inggris Lord, Belanda Heere – melalui Leijdecker berubah menjadi Tuhan. Nanti pada abad-abad berikut, sepanjang 200 tahun, penerjemahan Alkitab bahasa Melayu melanjutkan penemuan Leijdecker tersebut”. Jadi penerjemahan kata Tuhan bagi Yesus dalam Alkitab melayu dan bahasa Indonesia harus mengacu pada Tuan. Masalahnya Yesus sudah terlanjur sering disebut Tuhan, yang kalau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Tuhan itu diartikan sebagai yang disembah (Allah).
TUHAN adalah salinan dari nama Allah Israel, yaitu Yahweh (YHWH). Inilah yang dituliskan dalam kamus Alkitab LAI (ada di bagian belakang Alkitab kita). Dan ini memang benar. Orang Israel karena ketaatannya dan ketakutannya akan segala kutuk dan penjajahan yang menimpa mereka oleh sebab pemberontakan mereka, telah menguduskan nama Allah, yaitu YHWH dengan menggantikannya menjadi Adonai (Tuan) dalam penyebutan sehari-hari. Di kemudian hari hal itu di salah tafsirkan seolah-olah nama Allah Israel adalah Adonai. Tentu saja bukan demikian, karena nama Allah tidak pernah berubah

Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa : “Beginilah kau katakan kepada orang Israel : TUHAN (YHWH), Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu : Itulah namaKu untuk selama-lamanya dan itulah sebutanKu turun temurun” (Keluaran 3:15)

Adanya nama menunjukkan bahwa Allah orang Israel adalah Allah yang berpribadi dan hidup. Nama adalah ciri pribadi yang tidak boleh diganti-gantikan (non substitusi). Nama bukanlah gelar, jadi TUHAN sebenarnya harus dipahami sebagai YHWH, nama Allahnya Israel, dan bukan sebagai gelar. Cobalah membaca kembali Alkitab kita dan gantikanlah kata TUHAN dengan nama yang tepat dari Allah yaitu YHWH maka seluruh pemaknaan kita akan berubah.

Allah yang esa
Bagi keturunan Ibrahim, yaitu orang Israel, perintah yang paling utama adalah : “Dengarlah hai orang Israel : YHWH itu Allah kita, YHWH itu esa” (Ulangan 6:4). Prinsip keesaan ini merupakan prinsip mendasar dalam iman agama keturunan Ibrahim.

Supaya mereka tahu bahwa Engkau sajalah yang bernama YHWH, yang Mahatinggi atas seluruh bumi (Mazmur 83:19)

Akulah YHWH dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah … (Yesaya 45:5)

Kata esa (echad) bukan untuk ditafsirkan sebagai majemuk (plural, banyak). Echad berarti satu, tunggal, satu-satunya (the only). Salah satu contoh penggunaan kata echad juga adalah pada Yosua 12:9-24 : “Raja negeri Yerikho, satu; raja negeri Yerusalem, satu; raja negeri Hebron satu; raja negeri Yarmut, satu; raja negeri Lakhis, satu; …. Jadi jumlah semua raja itu, tiga puluh satu orang”. Jadi echad berarti satu numerik bukan satu kolektif.

Kalau pun ada ayat yang menunjukkan penggunaan kata “keduanya menjadi satu” atau “satu tandan anggur” maka kita harus pahami bahwa dalam konteksi itu satu numeriknya ada pada “satu keluarga” dan “satu tandan”. Satu keluarga dapat terdiri dari banyak pribadi, tetapi tidak mungkin satu keluarga terdiri dari banyak keluarga. Satu tandan anggur dapat terdiri dari banyak buah anggur, tetapi tidak mungkin satu tandan anggur terdiri dari banyak tandan anggur. Demikian pula satu Allah, hanya terdiri dari satu Allah, tidak mungkin terdiri dari dua, tiga atau seribu Allah.

Penggunaan kata Elohim dalam bahasa Ibrani untuk menjelaskan kata Allah, juga bukan berarti bahwa Allah itu jamak. Secara umum akhiran –im memang berarti jamak kecuali apabila akhiran –im tersebut dilekatkan pada kata yang memiliki makna keagungan, kebesaran (majestic pluralistic). Pada kata-kata ini akhiran –im melukiskan kebesaran makna tetapi tetap memiliki bentuk tunggal. Contohnya pada kata mayim (air), shamayim (langit) dan panim (wajah). Jadi penggunaan kata elohim kepada YHWH, bukan dimaksudkan bahwa ada banyak YHWH tetapi ada hanya ada satu YHWH yang Mahaagung.

Bapa dalam Perjanjian Baru
Yesus Kristus di dalam menyampaikan Injil tidak mengingkari apa yang telah disampaikan kepada para nabi. Ketika ditanya tentang inti ajarannya Yesus menjawab :

Jawab Yesus : “Hukum yang terutama ialah : Dengarlah hai orang Israel, Tuhan (YHWH) Allah kita, Tuhan (YHWH) itu esa. Kasihilah Tuhan (YHWH) Allahmu dengan segenap hatimu … kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Markus 12:29-31).

Pengulangan Yesus terhadap perintah “Shema” (dengarlah) yang merupakan prinsip keimanan monoteis yang mendasar menunjukkan bahwa Yesus datang bukan untuk menegakkan suatu teologi yang baru tetapi untuk menobatkan dunia. Maka Yesus menyatakan tentang orang Israel :

Kamu (orang Samaria) menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi (Yohanes 4:22)

Kalau pun Yesus memperkenalkan panggilan yang lebih lembut “Bapa” kepada para pendengarnya, Bapa itu bukanlah figur yang lain daripada YHWH sesembahan orang Israel :
Jawab Yesus : “Jikalau aku memuliakan diriku sendiri, maka kemuliaanku itu sedikitpun tidak ada artinya. Bapakulah yang memuliakan aku, tentang siapa kamu berkata : Dia adalah Allah kami” (Yohanes 8:54)

Maka benarlah apabila para murid Yesus memperkenalkan Yesus sebagai yang diutus, yang diurapi oleh Allah Israel :

Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu menjadi Tu(h)an dan Kristus (Mesias) (Kisah 2:36)

Allah Abraham, Ishak dan Yakub, Allah nenek moyang kita telah memuliakan hambaNya, yaitu Yesus yang kamu serahkan dan tolak di depan Pilatus … (Kisah 3:13)

Allah yang esa, juruselamat kita oleh Yesus Kristus, Tu(h)an kita, bagi Dia adalah kemuliaan, kebesaran, kekuatan dan kuasa sebelum segala abad dan sekarang dan sampai selama-lamanya. Amin. (Yudas 1:25)


Pengenalan yang benar akan Anak Allah
Salah satu komentar paling benar yang pernah dipuji oleh Yesus tentang siapakah dirinya adalah ucapan Petrus :

Lalu Yesus bertanya kepada mereka : “Tetapi apa katamu, siapakah aku ini ?” Maka jawab Simon Petrus : “Engkau adalah Mesias, anak Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya : “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus, sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapaku yang di Sorga” (Matius 16:15-17).

Ini adalah pernyataan iman yang paling original dan harus kita kumandangkan bahwa Yesus adalah Mesias, yang diurapi oleh Allah, yang diangkat oleh Allah menjadi Tuan (Lord) bagi semua manusia. Tetapi sayangnya oleh konsili Nicea (325), pernyataan iman ini diubah dalam kompromi gereja dengan Kaisar Konstantin bahwa Yesus adalah satu esensi dengan Allah dan dengan demikian Yesus yang Mesias dirubah menjadi Yesus yang Allah. Kita harus sadar bahwa untuk mencapai pengenalan yang benar akan Anak Allah (Efesus 4:13) maka kita harus sadar dahulu bahwa ucapan-ucapan Yesus yang terekam dalam kitab-kitab Injil dapat dipercaya. Bahwa Yesus bukan sedang bermain sandiwara atau menggunakan ucapan-ucapan yang bercabang. Yesus tidak pernah berdusta, tipu tidak ada pada mulutnya (1 Petrus 2:22).
Hal pertama yang harus kita pahami adalah bahwa Bapa (YHWH) dan Yesus adalah dua pribadi yang terpisah.

Dan dalam kitab Tauratmu ada tertulis bahwa kesaksian dua orang adalah sah : “Akulah yang bersaksi tentang diriku sendiri dan juga Bapa, yang mengutus aku, bersaksi tentang aku” (Yohanes 8:17,18)

Dengan demikian statement Yesus Kristus bahwa : “Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:31), bukanlah dimaksudkan kesatuan tubuh atau kesatuan pribadi, melainkan kesatuan kehendak sama halnya dengan harapan Yesus : “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa di dalam aku dan aku di dalam Engkau …” (Yohanes 17:21).
Hal kedua adalah bahwa Yesus mengakui Bapanya lebih berkuasa dibandingkan dirinya :

… Bapa lebih besar daripada aku (Yohanes 14:28)

Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diriku sendiri; aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab aku tidak menuruti kehendakKu sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku (Yohanes 5:30)

Aku berkata kepadamu : sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya (Yohanes 13:16)
Maka Rasul Paulus mengambil kesimpulan tentang tingkatan ini : “Kamu adalah milik Kristus, dan Kristus adalah milik Allah” (1Korintus 3:23). “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah” (1Korintus 11:3).
Hal ketiga, yang harus kita perhatikan adalah bahwa Yesus selama menjalankan tugasnya di bumi ini adalah benar-benar seorang manusia seutuhnya.

Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapatkan bagian dalam keadaan mereka … (Ibrani 2:14)

Tetapi dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus … (Ibrani 2:9)

Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah Imam Besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai hanya tidak berbuat dosa (Ibrani 4:15)


Perumusan iman dalam konsili Khalkedon (451) yang menyatakan bahwa Yesus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia dan dengan demikian adalah sepenuhnya manusia dan sepenuhnya Allah membuat surat-surat Paulus di atas menjadi nihil. Yesus yang demikian tentu saja tidak mungkin kita contoh.

Formula Kalkedon [yaitu keputusan konsili yang menyatakan Yesus adalah Allah sekaligus manusia] menjadikan Yesus tidak mungkin memiliki kemanusiaan yang sesungguhnya. Penjelasan konsili memang menyatakan Yesus adalah sepenuhnya manusia. Tetapi jika ada dua sifat dalam dirinya akan sangat jelas sifat mana yang lebih mendominasi. Dan dalam sekejap Yesus menjadi sangat berbeda dari kita. Dia menjadi mahatahu, mahakuasa, dan mahahadir (sifat-sifat Allah). Dia mengetahui masa lalu, masa kini dan masa depan … Ini sangat berbeda dari sifat mendasar manusia biasa. Yesus dicobai tetapi tidak dapat berdosa karena dia adalah Allah. Pencobaan macam apa yang seperti ini ? Sangat berbeda dengan jenis pencobaan yang kita alami (To Know and Follow Jesus, Thomas Hart, 1984 : 46).

Jika Yesus adalah sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia, apakah dia benar-benar berjuang ketika harus menahan cobaan Iblis di padang gurun dalam keadaan lapar. Apakah dia benar-benar lapar ? Apakah Allah bisa lapar ? Apakah Yesus benar-benar ketakutan ketika berdoa di Taman Getsemani ? Apakah Allah bisa ketakutan ? Allah tidak dapat dicobai (Yakobus 1:13) lalu mengapa Yesus yang adalah sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia dapat dicobai ?
Hal keempat, adalah Yesus memiliki pre eksistensi. Dia ada sebelum turun sebagai manusia. Yesus bukanlah nabi biasa yang lahir dari hasil persekutuan seorang pria dan wanita. Kuasa Allah (Roh Kudus) membuat Yesus ada menjadi manusia (Lukas 1:34,35).

Kata Yesus kepada mereka : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada” (Yohanes 8:58)

Oleh sebab itu ya Bapa, permuliakanlah aku padaMu sendiri dengan kemuliaan yang kumiliki di hadiratMu sebelum dunia ada (Yohanes 17:5)


Pre Eksistensi Yesus
Keberadaan Yesus sebagai Mesias yang sudah ditetapkan oleh Allah bukan berarti bahwa Yesus adalah Allah itu sendiri. Karena Yesus dengan konsisten dicatat memiliki Allah :

Tetapi engkau hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagiKu seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala. Maka ia akan bertindak dan akan menggembalakan mereka dalam kekuatan YHWH, dalam kemegahan nama YHWH Allahnya .. (Mikha 5:1,3)

Kata Yesus kepadanya : Janganlah engkau memegang aku, sebab aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudaraKu dan katakanlah kepada merka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapaku dan Bapamu, kepada Allahku dan Allahmu (Yohanes 20:17)

Barangsiapa menang ia akan kujadikan sokoguru di Bait Suci Allahku, dan ia tidak akan keluar lagi dari situ : dan padanya akan kutuliskan nama Allahku, nama kota Allahku, yaitu Yerusalem baru, yang turun dari sorga dari Allahku dan namaku yang baru (Wahyu 3:12)


Sebaliknya Yesus adalah awal dari segala ciptaan Allah

Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia : Inilah firman dari Amin, saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah (Wahyu 3:14)

Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan (Kolose 1:15)


Yang oleh dia, Allah menjadikan langit dan bumi dan segala isinya

Karena di dalam dialah telah diciptakan segala sesuatu yang ada di sorga [langit] dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh dia dan untuk dia (Kolose 1:16)

… Oleh dia Allah telah menjadikan alam semesta (Ibrani 1:2)

Tentu saja penciptaan yang melibatkan Yesus ini bukanlah penciptaan dari tiada menjadi ada (ex nihilo, from nothing to something) tetapi penciptaan yang dari ada menjadi ada (from something to something). Bandingkanlah jika YHWH sendiri yang mencipta : “Oleh firman YHWH langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulutNya segala tentaranya” (Mazmur 33:6). Allah menciptakan dengan firman, maka jadilah. Sementara Yesus menciptakan atas nama Allah (YHWH) dengan cara membentuk. “Dari debu tanah” (Kejadian 2:7). Yesus adalah seorang pembentuk, kuasa dan bahan ciptaan didapatnya dari Allah. Sama seperti kita sekarang juga adalah seorang pembentuk (pencipta) dari barang-barang teknologi dan sains tetapi semua bahan sudah ada lebih dahulu.
Sebagai anak Allah (ciptaan Allah) yang paling mulia, maka Yesus disebutkan : “Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan; sebab itu Allah, Allahmu telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutumu” (Ibrani 1:9). Di antara semua ciptaan di Sorga, Yesus dilebihkan oleh Allah. Segala kuasa di sorga dan di bumi diserahkan kepada Yesus (Matius 28:18). Tetapi Yesus adalah anak yang taat, dia tidak pernah ingin untuk merampas kesetaraan dengan Allah. Bahkan, setelah segala tugas yang membutuhkan kekuasaan itu yaitu tugas untuk membersihkan noda dosa dari alam semesta akibat pemberontakan Iblis dan manusia, Yesus akan membawa semua kemenangan itu dan menaklukkan dirinya di bawah Bapa (1Korintus 15:28).

Yesus Saudara Kita
Ucapan Yesus yang penuh makna kepada Maria Magdalena : “Bapaku dan Bapamu, Allahku dan Allahmu” menyimpan makna kerinduan Yesus agar digenapi pemulihan atas manusia dan agar harapan Allah terpenuhi :

Sebab Ia yang menguduskan (Yesus), dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu; itulah sebabnya ia tidak malu menyebut mereka saudara (Ibrani 2:11)
Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran anakNya, supaya ia (Yesus), anakNya itu menjadi yang sulung di antara banyak saudara (Roma 8:29)

Pemberontakan kita telah membuat kita kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Tetapi penyelamatan yang diinisiatifi oleh Allah sendiri (Yesaya 43:11) dan dijalankan oleh Yesus Kristus (Yudas 1:25), telah memberi kesempatan kepada kita untuk dipulihkan dalam kodrat Ilahi (2 Petrus 1:3,4). Kita kembali menjadi anak-anak Allah (Roma 8:14; Yohanes 1:12).
Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan dirinya, kita akan menjadi sama seperti dia, sebab kita akan melihat dia dalam keadaannya yang sebenarnya (1 Yohanes 3:2)

Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan (Roma 8:18,19).

Saudara-saudara, inilah yang hendak kukatakan kepadamu yaitu bahwa daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah, dan bahwa yang binasa tidak mendapat bagian dalam apa yang tidak binasa (1Korintus 15:50)

Karena kewargaan kita adalah di dalam Sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tu(h)an Yesus Kristus sebagai Juruselamat yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini sehingga serupa dengan tubuhnya yang mulia, menurut kuasanya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada dirinya (Filipi 3:20,21)

Sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah karena mereka telah dibangkitkan (Lukas 20:36)

Sebagai saudara Yesus, kita memanggil pula YHWH sebagai Bapa kami yang di Sorga. Tetapi mengapa sekarang terlalu sering kita melupakan Bapa kita, dan hanya mengingat Yesus, sang Saudara Sulung ? Bukankah Bapa juga harus diceritakan, karena Yesus datang untuk memperkenalkan Bapa yang di Sorga dengan benar ?
Dengan Yesus menjadi saudara kita maka dia menjadi juga teladan kita. Dia berjanji kepada kita :

Aku berkata kepadamu : sesungguhnya barangsiapa percaya kepadaku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu .. (Yohanes 14:12)

Yesus mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar karena kepenuhan kuasa Allah ada di dalam dirinya (Kolose 2:9). Tetapi kita pun boleh punya pengharapan yang sama, seperti yang didoakan Rasul Paulus : “Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah” (Efesus 3:19). Sehingga kuasa, pekerjaan, keadaan fisik, dan kodrat kita suatu saat kelak akan menjadi serupa dengan Yesus, dan kita semua menjadi anak-anak Allah dalam keluarga besar Allah. Bapa YHWH menjadi semua di dalam semua dan Yesus menjadi batu penjuru.

Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru (Efesus 2:19,20)

Amin.