10/21/08

Hari Sabat

Kita menjadi lazim dengan ibadah atau kebaktian gereja yang berlangsung pada hari minggu. Kita mengenal ada sekolah minggu, ada kebaktian raya hari minggu. Tetapi pernahkah kita bertanya apa dasar Alkitabnya sehingga kita harus berbakti pada hari minggu?

Sebagai orang Kristen – yang arti literal sederhananya adalah pengikut Kristus, yaitu Yesus dari Nazaret – maka teladan dan ajaran Yesus adalah inspirasi utama kita. Pada hari apakah Yesus Kristus berbakti?

“Ia datang ke Nazaret, tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat, Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab” (Lukas 4:16)

Yesus memiliki kebiasaan untuk datang ke rumah ibadat pada hari Sabat. Lalu hari Sabat itu apa? Apakah hari Sabat itu hari minggu?


Untuk memahaminya tentu kita harus mengerti hari Sabat seperti yang dilakukan oleh Yesus, yang merupakan hari Sabat orang Yahudi. Hukum Sabat adalah bagian dari hukum yang paling penting dari hukum Taurat, yaitu Ke-10 perintah. Hukum tentang Sabat berada pada perintah yang ke-4.


“Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat : Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat YHWH, Allahmu; … sebab enam hari lamanya YHWH menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya YHWH memberkati hari Sabat dan menguduskannya” (Keluaran 20:8-11)


Rupanya hari Sabat adalah hari ketujuh di mana orang Israel diperintahkan untuk berhenti dari segala pekerjaannya. Dengan demikian Sabat sendiri artinya adalah berhenti dari segala pekerjaan. Tentu saja bagi orang Israel ada banyak Sabat (hari perhentian). Pada hari paskah atau hari-hari raya lainnya orang Israel “bersabat” (Imamat 23:32). Tetapi hari sabat kudus, di mana orang Israel akan beribadah setiap pekannya, adalah Sabat hari ketujuh.


Bagaimana menghitung hari ketujuh tersebut? Kadang-kadang kita dibingungkan oleh kalender yang menyebutkan awal pekan adalah hari senin. Hal ini membuat hari minggu menjadi hari yang ketujuh. Tetapi jika kita mengerti makna kata “senin” itu sendiri, maka kita tidak akan menempatkannya di hari pertama dalam pekan, karena “senin” adalah serapan dari bahasa arab “isnain” yang berarti “dua”. Jadi senin jelas adalah hari ke-2. Karenanya hari pertama adalah “ahad” atau “minggu” (Sunday). Dengan demikian hari ke-7 akan jatuh pada hari Sabtu. Sabat berada pada hari Sabtu.


Lalu bagaimana menghitung mulai dan berakhirnya hari Sabat? Alkitab menyatakan dalam Imamat 23:32 tadi bahwa bagi orang Israel, penghitungan hari di mulai dari matahari terbenam hingga matahari terbenam. Penghitungan ini berbeda dengan kalender Romawi yang memulai hari dari jam 00.00 sampai jam 24.00. Dengan demikian hari Sabat akan terhitung mulai dari matahari terbenam di hari ke-6 kita, hingga matahari terbenam di hari ke-7 kita. Mudahnya, Sabat adalah periode waktu antara Jumat senja, hingga Sabtu senja.


Apa makna hari Sabat?


1. Sabat sebagai hari peringatan akan penciptaan

Mengakui Sabat berarti menghormati proses penciptaan Allah yang menurut Alkitab terjadi selama 6 hari, dan diakhiri dengan perhentian di hari ke-7.


“Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu” (Kejadian 2:2,3)


Dengan demikian Sabat membantu mengingat bahwa kita ini hanyalah ciptaan, dan sudah sewajarnya takluk kepada sang Pencipta. Sabat membantu kita untuk memiliki waktu khusus untuk lebih banyak berkontemplasi, bersekutu dan beribadah kepada Allah sebagai rasa syukur atas berkat selama 6 hari kita bekerja.


2. Sabat menjadi hari pemulihan

Seorang pencipta pasti mengenal cara merawat ciptaannya. Kita membeli kendaraan diberi buku panduan untuk merawat kendaraan, termasuk kapan kendaraan itu harus berhenti dan beristirahat. Apabila manusia terus menerus berada pada tekanan pekerjaannya dan tidak memiliki waktu untuk berhenti, maka manusia itu menjadi tidak imbang sehingga hidupnya kehilangan arah. Butuh waktu untuk berhenti sejenak, dipulihkan dan kemudian berpacu kembali. Sabat adalah hari berkat. Maka perintah kepada orang percaya, jadikanlah Sabat bukan sebagai hari beban karena kita tidak bisa bekerja seperti biasanya, tetapi hari berkat dan sukacita.


“Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat, dan tidak melakukan urusanmu pada hari kudus-Ku; apabila engkau menyebutkan hari Sabat, “hari kenikmatan”, dan hari kudus YHWH, “hari yang mulia”; apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu, dan dengan tidak mengurus urusanmu, atau berkata omong kosong, maka engkau akan bersenang-senang karena YHWH …” (Yesaya 58:13,14)


Seberapa sering kita bisa memiliki waktu yang tenang bersama keluarga. Bahkan di hari minggu atau “tanggal merah”-pun, tak jarang pekerjaan masih menghampiri. Kalau kita memiliki hari Sabat, sebagai hari ibadah, kita akan berkata tegas kepada semua orang yang bekerja bersama kita – dan biasanya mereka pun akan memahami – bahwa pada hari kudus Sabat, kita tidak bekerja. Dengan demikian, kita punya hari teduh, untuk lebih banyak berbagi dengan keluarga, untuk memulihkan kelelahan mental dan fisik, dan untuk memperbaharui semangat hidup.


3. Sabat menjadi pengingat akan Sorga

Di tengah dunia yang hiruk pikuk, kita mendambakan ketenangan. Itulah sebabnya kita mendambakan Sorga, suatu tempat yang teduh, tanpa dukacita dan lara, tempat kita bisa berhenti dari krisis dunia. Sayangnya kita memang belum berada di Sorga, tetapi kita perlu mengharapkan Sorga. Sabat diberikan untuk menjadi pengingat bagi kita, bahwa di tengah dunia yang hiruk pikuk, anda bisa berhenti sejenak, dan mencicipi “sorga”. Maka sebelum berada di Sorga, di mana setiap hari adalah ketenangan Sabat, kita masih membutuhkan Sabat hari ketujuh untuk “mencicipi sorga”


“Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah. Sebab barangsiapa telah masuk ke tempat perhentian-Nya, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti dari pekerjaan-Nya” (Ibrani 4:9,10).


Lalu mengapa ibadah Sabat diubah dari Sabtu ke Minggu?


Ini nampaknya tidak lepas dari dinamika perkembangan Kekristenan setelah campur tangannya Konstantin, Kaisar Romawi. Seperti yang kita tahu, Konstantin sangat tertarik untuk menggunakan agama Kristen yang sedang berkembang pesat menjadi agama pemersatu semua agama-agama Romawi. Konstantin sendiri bukan seorang Kristen, dan baru dibaptis menjadi Kristen menjelang ajalnya oleh Uskup Eusebius. Tetapi Konstantin yang masih pagan itu, telah membuat serangkaian kebijakan yang mengubah arah Kekristenan hingga kini. Konstantinlah yang mengadakan konsili Nicea, 325 M, yang menjadikan Yesus setara dengan Bapa. Nah ternyata Konstantin juga campur tangan dalam menciptakan “tren” mengubah Sabat dari Sabtu ke Minggu.


Tahun 321 M, sebagai seorang pengabdi Dewa Matahari (Sun-God), Konstantin mengeluarkan dekrit ini :

“Pada hari agung sang Matahari (hari matahari, Sunday) biarlah semua pejabat dan rakyat di perkotaan melaksanakan istirahat, dan semua tempat kerja diliburkan. Hanyalah di pedesaan, para petani, boleh dengan bebas dan sah melanjutkan kerja karena seringkali panen dan penanaman anggur tidak dapat ditunda, karena dapat mengganggu kelimpahan hasil panen”


Akhirnya dekrit Konstantin ini kemudian menjadi pertimbangan bagi Gereja Kristen Romawi untuk mengeluarkan dekrit dari Konsili Laodekia, 364 M bahwa hari minggu menjadi hari Sabat yang baru, dan semua ibadah dilakukan pada hari minggu bukan hari Sabtu. Para uskup Gereja Kristen Romawi itu kemudian juga menyebutkan perintah agar: “orang-orang Kristen jangan berperilaku seperti orang Yahudi, yang berhenti pada hari Sabtu, tetapi harus bekerja pada hari Sabtu”.


Jadi terlihat jelas di sini bahwa pengubahan hari Sabat dari Sabtu ke Minggu bukanlah berdasarkan perintah Alkitab yang jelas, apalagi berdasarkan ucapan Yesus Kristus – sang inspirasi Kekristenan – melainkan hasil pemikiran orang-orang Kristen tertentu yang mencoba untuk mengikuti arus politik Romawi. Ada tiga hal yang menjadi dasar perubahan ini :

1. Kekristenan dikepung oleh berbagai ajaran mistis helenistis Romawi, termasuk ajaran penghormatan kepada dewa matahari, dan ibadah hari minggu yang populer di kalangan penganut mitraisme dari Persia. Sehingga nampaknya ada kepentingan politis untuk membuat Kekristenan sama populernya dengan agama-agama pagan yang sudah mapan dengan memindah hari ibadah dari Sabtu menjadi sama dengan agama pagan yaitu hari minggu.

2. Orang-orang Yahudi sedang memberontak kepada Romawi dan dihancurkan. Maka nampaknya ada pemikiran bahwa lebih aman orang Kristen menjadi agama yang terpisah dari Keyahudian supaya tidak ikut dimusuhi oleh penguasa Romawi.

3. Penganiayaan otoritas Yahudi, kepada orang-orang Yahudi dan non-Yahudi yang mengikuti Kristus, telah menimbulkan kebencian terhadap agama Yahudi, sehingga nampaknya ada upaya untuk memisahkan diri dari otoritas Yahudi dan keluar dari jangkauan mereka dengan membentuk ajaran sendiri.


Nah, karena alasan-alasan historis ini bukanlah alasan alkitabiah, maka nampaknya tidak ada bukti sah dari ajaran Yesus Kristus yang menyuruh kita untuk berpaling dari Sabat hari ketujuh (Sabtu) ke Sabat hari pertama (Minggu).


Shalom.